Oleh: Gartinia Nurcholis
(Dosen Fakultas Psikologi Universitas Hang Tuah Surabaya)
Profesi pelaut merupakan salah satu profil yang menjanjikan sekaligus merupakan tantangan di era perdagangan bebas atau Asean Free Trade Area (AFTA) 2014. Indonesia sebagai negara maritim yang merupakan salah satu pencetak pelaut handal yang bertugas di dalam negeri maupun di luar negeri, dituntut mampu menghasilkan pelaut yang handal supaya dapat bersaing dengan pelaut asing. Namun demikian, secara kontra terdapat isu erkait dengan kualitas SDM Pelaut Indonesia di masyarakat Internasional yang rendah dalam hal etos kerja, kedisiplinan, malas, suka berbuat onar, serta kurang memiliki kemampuan bahasa Inggris. Hal ini menjadikan permasalahan tersendiri bagi pemerintah Indonesia. Tantangan globalisasi dan era perdagangan bebas (AFTA) akan menjadi ancaman tersendiri bila Indonesia tidak mampu menghasilkan pelaut yang kompeten. Sekolah maupun akademi pelayaran yang diharapkan mencetak pelaut yang kompeten, selepas pendidikan hanya sedikit yang dapat tertampung di perusahaan pelayaran (Syamsudin, M, 2009).
Kompetensi seorang pelaut yang handal merupakan hal yang perlu mendapat perhatian utama bagi perusahaan di sektor perhubungan maupun sektor pendidikan. Kondisi di laut yang penuh resiko tinggi, membutuhkan tenaga pelaut yang handal. Ketidakmampuan manusia (dalam hal ini pelaut) dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan laut dengan tekanan yang berasal dari factor psikologis, lingkungan kerja dengan minimnya kontak social dan keterasingan social serta sifat hirarki tradisional dari tim kapal yang memadukan struktur tipe sipil dengan norma kuasi militer menjadikan factor personal dianggap sebagai penyebab terjadinya permasalahan psikologis, seperti stres, kelelahan (fatigue), kesejahteraan psikologis yang kurang baik, pelanggaran terhadap aturan dan prosedur yang berlaku, kurangnya komunikasi, kurangnya kemampuan dalam berkomunikasi maupun bekerjasama dalam tim, kurangnya penguasaan terhadap teknologi, ataupun kurang mampu menyesuaikan diri terhadap tekanan pekerjaan yang tinggi di laut, berpotensi menjadikan seseorang melakukan perilaku tidak aman yang berakibat pada terjadinya kecelakaan. (Heinrich, 1980; Hoftmann & Stetzer, 1996; Lawton& Parker, 1998; Barzan, 2007; Allen et al., 2008; Carotenuto et al., 2012; Iversen 2012; MacLachlan et al., 2012; Oldenburg et al., 2010; Slišković, 2017; Formela, et al., 2019). Dengan demikian, bagi penyelenggara pendidikan, dituntut untuk senantiasa meningkatkan kualitas lulusan dengan perbaikan kualitas layanan jasa dalam bentuk perangkat kurikulum pendidikan yang berorientasi pada masa depan. sehingga menjadikan output kualitas layanan yang dihasilkan pendidikan tersebut menjadikan nilai tersendiri (value added) bagi pengguna jasa. Hal yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas lulusan pelaut terletak pada kompetensi teknis dan non teknis yang menjadi inti (core competency) yang membedakan antara penyelenggara pendidikan yang satu dengan yang lainnya.
Karakter, nilai dan sikap pribadi vs kompetensi
Karakter dapat didefinisikan sebagai paduan daripada segala tabiat manusia yang bersifat tetap, sehingga menjadi tanda yang khusus untuk membedakan orang yang satu dengan yang lain (Griek, dalam Zubaedi, 2001). Menurut Ekowarni, E (2010) (dalam Zubaedi, 2011), karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motive) dan ketrampilan (skills). Dalam hal ini, karakter sebagai aspek kepribadian, merupakan cerminan dari kepribadian secara utuh dari seseorang: mentalitas, sikap, dan perilaku. Karakter pribadi merupakan salah satu karakteristik dari kompetensi yang dibangun berdasarkan pengetahuan nilai atau moral, sikap nilai atau moral, dan tindakan nilai atau moral. Pengetahuan nilai atau moral tersebut terdiri dari pemahaman tentang moral (moral awarenenss), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), kemampuan untuk memperkirakan pandangan atau pemikiran serta memahami perasaan dan pikiran orang lain (perspective taking), mampu menentukan secara logis dan obyektif terhadap moral yang berlaku (moral reasoning), mampu mengambil keputusan terhadap diri pribadi (decision making), dan pemahaman pribadi (self knowledge), mampu menentukan secara logis dan obyektif terhadap moral yang berlaku (moral reasoning), mampu mengambil keputusan terhadap diri pribadi (decision making), dan pemahaman pribadi (self knowledge).
Nilai dan karakter memiliki hubungan yang erat dalam membentuk kompetensi. Nilai adalah sesuatu yang dijunjung tinggi, yang dapat mewarnai dan menjiwai tindakan seseorang. Nilai lebih dari sekedar keyakinan, melainkan menyangkut pola pikir dan tindakan, sehingga ada hubungan yang amat erat antara nilai dan etika. Nilai merupakan preferensi yang tercermin dari perilaku seseorang, sehingga seseorang akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu tergantung pada sistem nilai yang dipegangnya (Kalven dalam Hall,et a.l., 1982 dalam Adisusilo, S, 2012). Sikap, nilai atau moral yang merupakan aspek emosi yang harus dirasakan oleh manusia supaya menjadi manusia bermoral atau berkarakter yaitu mampu mendengarkan kata hati (conscience), memiliki harga diri yang tinggi (self esteem), mengembangkan rasa peduli terhadap orang lain (empathy), menyenangi sesuatu yang berkaitan dengan kebaikan (loving the good), mampu mengontrol diri dengan baik (self control) dan memiliki kerendahan hati (humility). Tindakan nilai atau moral akan membentuk kompetensi (competence), kemauan (will) dan kebiasaan (habbit) (Lickona, 1992 dalam Adisusilo,S, 2012).
Pentingnya karakter ini dalam membentuk kompetensi, dilakukan melalui pendidikan. Menurut Lickona, 1992 (dalam Adisusilo, S, 2012), komponen karakter yang baik itu meliputi pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling), dan perilaku moral (moral action). Ketiga komponen tersebut menunjuk pada pemahaman sampai pelaksanaan nilai atau moral dalam kehidupan sehari-hari. Ketiganya tidak serta merta terjadi dalam diri seseorang, tetapi bersifat prosedual. Artinya, tahapan ketiga hanya mungkin terjadi setelah tercapai tahapan kedua, dan tahapan kedua akan tercapai setelah tahapan pertama. Meskipun pada prakteknya tidak selalu ketiga tahapan tersebut terjadi secara utuh pada seseorang, sebaiknya pendidikan moral/karakter tersebut meliputi aspek ketiganya.
Zuhdi, Darmiyati (2008) (dalam Adisusilo, S, 2012) menyatakan bahwa watak atau karakter sebagai seperangkat sifat- sifat yang selalu dikagumi sebagai tanda-tanda kebaikan, kebijakan, dan kematangan moral seseorang. Jadi, pendidikan karakter pada dasarnya merupakan pendidikan nilai, yaitu penanaman nilai-nilai menjadi sifat pada diri seseorang, dan karenanya mewarnai kepribadian atau watak seseorang. Watak seseorang dapat dibentuk, dikembangkan dengan pendidikan nilai. Pendidikan nilai akan membawa pada pengetahuan nilai, pengetahuan nilai akan membawa pada proses internalisasi nilai, dan proses internalisasi nilai akan mendorong seseorang untuk mewujudkannya dalam tingkah laku yang sama, akan menghasilkan watak
Karakter juga merupakan ciri khas seseorang yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan yang dapat dibentuk melalui pengaruh lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa karakter sebagai aspek kepribadian, merupakan cerminan dari kepribadian secara utuh dari seseorang: mentalitas, sikap, dan perilaku. Selain itu, karakter sebagai salah satu pembentuk kompetensi seseorang di area tidak terlihat (soft competency) mengandung nilai-nilai yang dimiliki seseorang untuk menggerakkan perilakunya menjadi profesional. Dengan demikian, karakter positif akan menghasilkan individu yang kompeten di bidangnya. Pendidikan nilai atau karakter ini merupakan hal yang penting karena kesuksesan hidup seseorang tidak hanya ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skills) yang diperoleh melalui pendidikan, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri yang di dalamnya termasuk karakter dan interaksi dengan orang lain (soft skills) (Akbar, 2000, dalam Adisusilo, S, 2012).
Hubungan nilai, moral, sikap, dan Tindakan nilai atau moral dapat dilihat pada gambar sebagai berikut :
Gambar 1. Hubungan sikap, nilai dan moral
Sumber : Adisusilo (2012)
Kompetensi merupakan karakteristik dasar seseorang yang dapat dipakai untuk memprediksi tingkat efektifitas, dan atau keberhasilan dalam tugas dan tanggung jawab dalam situasi tertentu (Spencer & Spencer, 1993). Terdapat lima karakteristik dari kompetensi antara lain : motivasi, karakter pribadi, konsep diri, pengetahuan dan ketrampilan yang menjadikan perbedaan antara individu yang satu dalam melaksanakan tugas (Spencer dan Spencer (1993), dalam Sanghi, Sheema 2016). Menurut Spencer & Spencer (1993), kompetensi adalah karakteristik karakteristik yang mendasar pada seorang individu yang berhubungan secara kausal dengan kinerja efektif ataupun superior menurut standar kriteria tertentu yang sudah ditetapkan pada suatu jabatan atau situasi. Karakteristik kompetensi personal terdiri dari lima, antara lain alasan, sebab (motive), kepercayaan (trait), konsep diri (self concept), penguasaan ilmu (content knowledge), dan kesadaran dan keahlian bertindak (cognitive and behavioral skill). Adapun gambar kompetensi dapat dilihat dilihat pada gambar di bawah ini :
Gambar 2. Kompetensi
(diadaptasi dari Spencer & Spencer, 1993)
Konsep diri, motivasi, dan kebiasaan merupakan area kompetensi yang tidak terlihat dan mengarah pada watak atau kepribadian seseorang (Sheema, Sanghi, 2016). Watak atau kepribadian merupakan hal yang sulit untuk diidentifikasi dan dikembangkan, namun apabila telah dikembangkan akan membentuk kriteria performa kerja secara efektif (superior performance). Jika dikaitkan dengan kompetensi pelaut, rendahnya nilai-nilai karakter yang dimiliki pelaut menjadikan pelaut kurang kompeten di bidangnya.
Pengembangan Pendidikan berkarakter berdasarkan nilai dasar karakter
Goleman, D (1999) menyatakan bahwa pendidikan karakter merupakan pendidikan nilai, yang mencakup sembilan nilai dasar yang saling terkait, yaitu : 1) tanggung jawab (responsibility), 2) rasa hormat (respect), 3) Fairness (keadilan), 4) Keberanian (courage), 5) Honesty (kejujuran), 6) Rasa kebangsaan (citizenship), 7) Disiplin diri (self discipline), 8) Peduli (caring), dan 9) ketekunan (perseverance). Goleman juga menyatakan, bahwa jika pendidikan nilai berhasil menginternalisasikan kesembilan nilai dasar tersebut dalam peserta didik, maka akan terbentuk seorang pribadi yang berkarakter, pribadi yang berwatak. Lickona (1991, dalam Adisusilo, 2012).
Pendidikan karakter di Indonesia didasarkan pada Sembilan pilar karakter dasar yang menjadi tujuan pendidikan karakter, antara lain : 1) cinta kepada Tuhan YME dan semesta beserta isinya, 2) tanggung jawab, disiplin, dan mandiri, 3) jujur, 4) hormat dan sopan santun, 5) kasih sayang, peduli dan kerjasama, 6) percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang menyerah, 7) keadilan dan kepemimpinan, 8) baik dan rendah hati, 9) toleransi. Pendidikan karakter dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai atau kebajikan yang menjadi nilai dasar pendidikan karakter bangsa. Kebajikan yang menjadi atribut suatu karakter pada dasarnya adalah nilai. Oleh karena itu, pendidikan karakter pada dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup atau ideology bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan nasional (Zubaedi, 2011).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurcholis, G (1999) menunjukkan bahwa pentingnya pemahaman nilai karakter yang membentuk kompetensi pada taruna Program Diploma Pelayaran (PDP) UHT. Adapun nilai-nilai karakter yang perlu dikembangkan pada tarunan PDP secara berturut-turut adalah sebagai berikut : 1) Tanggung jawab, 2) Kejujuran, 3) Disiplin, 4) Religius, 5) Keadilan, 6) Rasa Hormat, 7) Kepedulian, 8) Percaya diri, 9) Kerja keras, 10) Keberanian, 11) Kewarganegaraan, 12) Ketekunan, 13) Toleransi, 14) Integritas. Nilai-nilai karakter yang terbentuk tersebut hendaknya dijadikan dasar dalam Pendidikan karakter yang membentuk kompetensi pelaut sesuai dengan persyaratan yang berlaku dalam STCW 2010 (Nurcholis, G, 2018).
Berkaitan dengan hal tersebut, untuk mengembangkan Pendidikan berkarakter dalam rangka membentuk kompetensi pelaut yang handal menurut Goleman (1999) sebagai berikut berikut :
- Institusi perlu mengembangkan nilai-nilai universal/dasar sebagai pondasi,
- Institusi perlu mendefinisikan karakter secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku,
- Institusi perlu menggunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif melalui pengembangan kurikulumnya.
- Institusi Pendidikan perlu menciptakan komunitas pendidikan yang penuh perhatian,
- Institusi perlu memberikan peserta didik kesempatan untuk melakukan tindakan moral, yang diimplementasikan dalam proses belajar sehari-hari.
- Institusi perlu membuat kurikulum akademik yang bermakna yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan sifat-sifat positif dan membantu peserta didik untuk berhasil,
- Institusi perlu mendorong motivasi peserta didik untuk terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran
- Institusi perlu melibatkan seluruh civitas institusi sebagai komunitas pembelajaran dan moral,
- Institusi perlu menumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral,
- Institusi perlu melibatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra,
- Institusi perlu melakukan evaluasi karakter sekolah, fungsi staf institusi sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana peserta didik memanifestasikan karakter yang baik.
Dengan Pendidikan berkarakter tersebut di atas, secara tidak langsung diharapkan dapat membentuk kompetensi calon kompetensi pelaut yang handal sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan konvensi STCW 2010.
Referensi
Adisusilo, Sutarjo. Pembelajaran Nilai-nilai Karakter. 2012. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Goleman, D. (1999). What makes a leader. IEEE Engineering Management Review, 27, 4-11.
Hetherington, C., Flin, R., & Mearns, K. (2006). Safety in shipping: The human element. Journal of safety research, 37(4), 401-411.
Hofmann, D. A., & Stetzer, A. (1996). A cross-level investigation of factors infuencing unsafe behaviours and accidents. Personnel Psychology, 49, 307±339
Karthik. 2018. Maritime Education and Training – Future Trend – On board Training Perspective. Research Review International Journal of Multidisciplinary.
Karakasnaki, M., Vlachopoulos, P., Pantouvakis, A., & Bouranta, N. (2018). ISM Code implementation: an investigation of safety issues in the shipping industry. WMU Journal of Maritime Affairs, 17(3), 461-474.
Komite Nasional Keselamatan transportasi (KNKT). 2016. Data investigasi kecelakaan pelayaran 2010-2016. Jakarta
Nurcholis, G. 2018. Identifikasi Nilai-Nilai Karakter Calon Pelaut (Studi Program Diploma Pelayaran Universitas Hang Tuah Surabaya. Disampaikan pada Prosiding Seminakel XIII “Implementasi Hasil Riset Sumber Daya Laut dan Pesisir dalam Rangka Mencapai Kemandirian Ekonomi Nasional” ISBN : 978-602-71063-4-5 Volume 1, No. 1, Juli 2018, Hlm.A-72- A-80 http://prosidingseminakel.hangtuah.ac.id/index.php/ps/article/view/71Sanghi, Sheema. 2016. The Handbook of Competency Mapping. Sage
Spencer & Spencer. 1993. Competence at Work. Models For Superior Performance. John Wiley & Sons, Inc.
Syamsudin, M. 2009. Beberapa Permasalahan Yang Dihadapi Pelaut Indonesia dan Urgensi Perlindungan Hukumnya Menghadapi Dampak Globalisasi dan Perdagangan Bebas. Disampaikan pada Proceeding Konferensi Nasional Hukum Politik dan Kekuasaan. Fakultas Hukum Universitas Katholik Soegijapranata Semarang.
Zubaedi. 2012, Desain Pendidikan Karakter. Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan.