Konflik dalam Organisasi. Dihindari, atau diciptakan?

Oleh: Drs. Mithra, MCom, Psikolog.

“For good ideas and true innovation, you need human interaction, conflict, argument, debate.” Margaret Heffernan.

 

Latar belakang

“Hati-hati” bila organisasi, perusahaan, atau kelompok yang anda pimpin tampak harmonis, kohesif, orang-orangnya begitu dekat, sangat akrab satu sama lainnya, dan tidak pernah ada konflik atau perdebatan. Tapi ternyata kinerja atau produktivitasnya justru tidak optimal.

Irving Janis (dalam Neher, 1993) menggunakan istilah groupthink untuk menggambarkan dinamika yang menyebabkan keputusan-keputusan yang kurang tepat. Janis menyatakan (dalam Neher, 1993., Stott & Walker, 1995) bahwa kelompok yang sudah bekerja bersama sekian lama, dan menjadi semakin kohesif serta harmonis, akan “menganggap” konflik dan kritik sebagai perilaku negatif, akibatnya bila seorang anggota tim ingin melakukan evaluasi ide-ide malah menjadi merasa tidak nyaman. Kelompok menjadi pusat segalanya. Selain itu, kelompok yang kohesif dapat menjadi over-estimate pada nilai ide mereka sendiri sekaligus under-estimate ide kelompok lain. Konsekuensinya, perspektif-perspektif alternatif yg lebih baik juga “hilang”. Dapat dikatakan, fenomena Groupthink menunjuk pada keengganan atau ketidakmampuan kelompok untuk secara kritis mengevaluasi ide-idenya sendiri. Inovasi-inovasi menjadi tidak muncul.

Organisasi yang mempunyai kompetitor, harus bergerak dinamis, siap mengambil resiko (yang calculable), serta banyak membuat inovasi. Hal tersebut Sejalan dengan kalimat motivasional yg disampaikan Margaret Heffernan, seorang profesor sekaligus enterpreneur dan motivator yang bermukim di UK, di awal tulisan ini, “Untuk  ide-ide bagus dan inovasi murni, anda memerlukan interaksi antar manusia, konflik, argumen, maupun debat”.  Sesuatu yang menunjukkan adanya dinamika, letupan-letupan, atau bahkan benturan-benturan yang bernuansa konflik.

Dinyatakan oleh Jones (2008) bahwa, dalam banyak  hal konflik  memang dipandang negatif , namun beberapa jenis konflik justru mampu memberi kontribusi terhadap efektivitas organisasi. Konflik bisa saja secara kebetulan mengungkap kelemahan organisasi dan membuka jalan bagi  upaya mengatasi kelemahan tersebut.

Karena itu, pada dasarnya konflik  harus dikelola dengan baik.  Pimpinan akan melaksanakan manajemen konflik, melakukan resolusi konflik, memfasilitasi munculnya “lesson learned” dan menjaga agar konflik tidak berlarut-larut karena konflik juga bersifat destruktif.

Definisi Konflik

Menurut t Stoner & Wankel (Dalam Kusworo, 2019)  konflik  adalah: “suatu perbedaan pendapat di antara dua atau lebih anggota atau kelompok dalam suatu organisasi yang muncul dari kenyataan bahwa mereka harus membagi sumber daya yang langka atau aktivitas kerja dan/atau dari  kenyataan bahwa mereka mempunyai status, tujuan, nilai atau pandangan yang berbeda . Para anggota organisasi atau subunit kerja yang berbeda pendapat berupaya untuk memenangkan kepentingan atau pandangannya masing-masing”

DuBrin (dalam Egan, 2007) mendefinisikan konflik sebagai   “a disagreement about goals or how to achieve those goals. It can be viewed as a simultaneous arousal of two or more incompatible motives”._”ketidaksepakatan tentang tujuan atau bagaimana mencapai tujuan tersebut. Ini dapat dilihat sebagai dorongan  simultan dari dua atau lebih motif yang tidak kompatibel”.

 

Dua definisi diatas cukup representatif  untuk memaknai pengertian  “konflik” dalam bidang Psikologi Industri, dimana variabel  “konflik” sebagai Subyek bahasan dibatasi pada Ketidak kompatibel-an antara 2 orang lebih, serta tidak mencakup konlik internal yang terjadi dalam diri individu yang  biasanya menjadi ranah Psikologi Klinis.

Penyebab Konflik

Pada dasarnya manusia ”tidak kompatibel” satu sama lainnya, dan itu yang menyebabkan konflik tidak bisa dihindari (Deutsch, dalam Greene dkk, 2008), dilanjutkan oleh Braiker & Kelley (dalam Greene dkk, 2008)  bahwa, “ketidak-kompatibelan” tersebut sudah melekat pada  manusia karena perbedaan dalam;  kebutuhan (needs), keyakinan (beliefs), tujuan (goals), dan perilaku (behaviors). Ironisnya, ketidakcocokan dan kemungkinan konflik meningkat ketika manusia menjadi makin saling tergantung.

Egan (2007) menyebutkan hal-hal umum yang ditemui sebagai penyebab konflik adalah;  (1) Persepsi yang berbeda,  (2) Komunikasi yang buruk,  (3)Gaya supervisi dan rutinitas pekerja yang tidak sesuai, (4)Perbedaan kepribadian, (5)Prioritas yang berbeda pada penugasan kerja, (6)Persaingan, (7)Kenyamanan dengan perubahan, (8)Tujuan yang tidak kompatibel.

Tinjauan  braiker & Kelly bersifat lebih umum (juga luas) dan bisa mencakup penyebab-penyebab spesifik  yang disebut oleh Egan (2007).

Dampak positif maupun Negatif konflik dalam Organisasi

Jones (2008) menyatakan bahwa, dalam banyak  hal konflik  memang dipandang negatif , namun beberapa jenis konflik justru mampu memberi kontribusi terhadap efektivitas organisasi. Konflik bisa saja secara kebetulan mengungkap kelemahan organisasi dan membuka jalan bagi  upaya mengatasi kelemahan tersebut. Selain itu Konflik bisa juga mengarahkan personel  pada proses pembelajaran dan perubahan organisasi.

 

Sunarta (2010) menyebutkan  aspek positif maupun negatif  konflik sebagai berikut;

Aspek positif: (1) organisasi menjadi lebih dinamis, (2) sebagai pengalaman berharga, (3) pimpinan lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan, (4) melahirkan pribadi yang kreatif, kritis, dan inovatif, (5) menumbuhkan sikap toleransi. Sedangkan, secara negatif konflik dapat mengakibatkan: (1) komunikasi interpersonal terhambat, (2) kerjasama dalam organisasi menjadi terhalang, (3) aktivitas produksi dan distribusi terganggu, (4) munculnya saling curiga, salah paham, dan intrik, (5) individu yang berkonflik bisa merasakan cemas, tertekan, apatis, dan frustasi, (6) bila terjadi stres yang berkepanjangan, orang yang sedang berkonflik bisa saja  menarik diri dari pergaulan dan mangkir dari pekerjaan.

Egan (2007) menggunakan istilah konflik “konstruktif” dan konflik “destruktif” yang dikaitkan dengan gaya resolusi (Matriks Thomas Killman), dimana konflik dikategorikan konstruktif bila; pihak-pihak yang terlibat mengenali, mengakui, dan berfokus pada ketidak-sepakatan ketidak-sepakatan di antara mereka. Ketika konflik dikelola secara konstruktif, hasilnya bisa menjadi kompromi atau kolaborasi. Konflik destruktif terjadi ketika individu mengabaikan situasi atau ketika satu orang memaksakan strategi penyelesaian pada orang yang lain sehingga hasilnya menjadi  “win-lose”

 

Konflik yang dibiarkan tanpa ditangani akan menimbulkan efek negatif yang lebih serius seperti  terpencarnya upaya ke arah pencapaian tujuan, habisnya sumber daya dalam organisasi untuk menangani konflik dan bukannya digunakan untuk arah pencapaian organisasi, kemudian timbulnya beban psikologi antar karyawan (Prihatina, 2023)

Manajemen  Konflik

Manajemen konflik pada dasarnya berkaitan dengan  penerapan strategi tertentu untuk mengeliminir  aspek negatif dari konflik,meningkatkan aspek positif dari konflik serta untuk meningkatkan kinerja dan efektivitas dalam pengelolaan yang terorganisir (Islam & Rimi, 2017).

Berdasarkan kuadran Thomas Killman dibawah, tampak ada lima pendekatan umum dalam menghadapi konflik, yaitu: akomodasi, kolaborasi, kompromi, agresi, dan penghindaran. Masing-masing gaya memiliki kelebihan dan kekurangan dan umumnya menghasilkan hasil yang konstruktif atau destruktif. Kebanyakan orang memiliki gaya utama, meskipun fleksibilitas gaya efektif dalam menangani berbagai konflik.

Sumber: Islam, M & Rimi, NS. (2017)

 

6 (enam) pendekatan yang digunakan dalam menangani konflik (Baskerville, dalam Prihatina, 2023):

  1. AVOIDING (Menghindar): Cooperativeness dan assertiveness rendah. menghindari konflik. Hal potensial dan sensitif dihindari sebisa mungkin agar tidak berkembang menjadi sebuah konflik yang terbuka; tapi mungkin juga hal yang dihadapi dianggap sebagai sesuatu yang sepele.
  2. ACCOMODATING(Mengakomodir): Cooperativeness tinggi, assertiveness rendah. Menghimpun aspirasi/pendapat/kepentingan pihak-pihak dimana konflik muncuk dan selanjutnya dicari jalan keluarnya;
  3. COMPROMISSING (Kompromi): Assertiveness dan cooperativeness sedang. gaya penyelesaian konflik dengan cara melakukan negoisasi antar pihak yang berkonflik kemudian dicari solusi atau jalan tengah yang sekiranya dapat diterima kedua belah pihak;
  4. COMPETING (Berkompetisi): Assertiveness tinggi, cooperativeness rendah. pihak-pihak yang berkonflik akan saling bersaing untuk memenangkan konflik dan akhirnya ada pihak yang dikorbankan kepentingannya demi tercapainya kepentingan pihak lain yang lebih kuat atau lebih berkuasa (win – lose solution);
  5. COLLABORATING(Kolaborasi): Baik Assertiveness maupun Cooperativrness tinggi. cara ini dilakukan dengan membuat para pihak yang berkonflik sama-sama memperoleh hasil yang memuaskan, dilakukan dengan bersinergi menghadapi persoalan dan tetap menghargai kepentingan pihak lain (win-win solution);
  6. CONGLOMERATION: gaya ini menggunakan kelima pendekatanpenyelesaian konflik secara bersama-sama (mixtured).

Demikian lima pendekatan utama dan satu pendekatan tambahan penanganan konflk.

Menetralkan pengaruh  groupthink

Seperti sudah dibahas sebelumnya, fenomena groupthink adalah fenomena dimana organisasi sangat kohesif tidak pernah konflik internal,  namun kebanyakan anggotanya “sungkan” menampilkan sesuatu yang beda karena hubungan dengan koleganya baik dan sudah nyaman. Kinerjanya tidak optimal.  Karena itu groupthink perlu dinetralkan.

Wynn dan Guditus (dalam Stott & Walker, 1995) menyarankan dua tindakan utama yang sebaiknya  dilakukan pimpinan guna “menetralkan” pengaruh groupthink, sebagai berikut:

  1. Menggunakan SDM luar;  Strategi memanfaatkan sumber daya di luar tim. Bisa dengan melibatkan orang lain dalam proses pemecahan masalah, bersifat konsultatif, memberi masukan kreatif, atau memberi pencerahan-pencerahan pada anggota yg lain. Namun kendali terkait keputusan tetap di pihak sendiri.  Bisa juga memasukkan SDM luar melalui rekrutmen atau rotasi personel.
  2. Mendorong anggota tim untuk mau menampilkan pandangan yang berbeda:  Pertama,dengan cara membuat iklim terbuka atau sistem reward maupun insentif bagi pandangan berbeda yang aplikabel.  Kedua, pihak manajemen atau orang-orang yang dianggap senior diminta untuk men”delay” komen maupun pendapat agar orang lain tidak merasa “terancam”.  Ketiga, meminta seseorang sebagai pemain peran atau “devil advocate” dengan perilaku khusus; menunjukkan perbedaan pendapat, menguji asumsi, atau mempertanyakan keakuratan dan keandalan informasi, serta  menguraikan konsekuensi yang lebih merugikan dari tindakan tertentu agar yang lain ikut “tergerak”.

Kesimpulan

Menjawab pertanyaan dari judul tulisan ini,  pada dasarnya konflik tidak perlu dihindari, namun konflik juga jangan diciptakan. Selama ada interaksi antar manusia maka konflik tetap akan terjadi. Segera adakan resolusi konlik dilanjutkan penggalian “lesson learned” agar terjadi siklus perbaikan yang berlanjut.

Selain itu monitor dan evaluasi kegiatan-kegiatan organisasi. Kemudian, pemberian dan penerimaan feedback yang berkelanjutan juga bisa mencegah maupun mengeliminir terjadinya fenomena group think.

Daftar Bacaan

Egan, J. (2007). Managing Conflict Resolution. LABMEDICINE  Volume 38 Number 3  March 2007

Greene, JD,  and Burleson, BR. (Ed.) (2008) Handbook of Communication and Social Interaction Skills. Taylor & Francis e-Library.

Hayes, John (2002) Interpersonal Skills at Work, 2nd Ed.  Routledge, New York.

Jones, G R., (2009) Organizational Theory, Design, and Change, 5th Ed. Dorling Kindersley, New Delhi.

Islam, M & Rimi, NS. (2017) Conflict Management Technique in Private Commercial Banks of Bangladesh: An Application of Thomas-Kilmann Conflict Handling Model. European Journal of Business and Management www.iiste.org ISSN 2222-1905 (Paper) ISSN 2222-2839 (Online) Vol.9, No.29.

Kusworo (2019). Manajemen Konflik dan Perubahan dalam Organisasi. Alqaprint. Jatinangor

Neher, WW. and Waite, DH. (1993). The Business and  Professional Communicator. Allyn & Bacon. London.

Prihatina. R. (2023) Manajemen Konflik Dalam Organisasi : Konflik Itu Negatif Atau Positif Sih…?

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/16083/Manajemen-Konflik-Dalam-Organisasi-Konflik-Itu-Negatif-Atau-Positif-Sih.html. Akses: 20/08/2023 11.18

Stott, K. and  Walker, A. (1995). Teams, Teamwork and Teambuilding. The Manager’s complete Guide to Teams in Organization. Prentice Hall, Singapore.

Sunarta, S. (2010) Konflik dalam Organisasi (Merugikan Sekaligus Menguntungkan). Efisiensi No. 1 Volume X, Februari 2010.  Akses:20/08/2023 13.53