PREDIKSI PERILAKU POLITIK MAHASISWA SEBAGAI PEMILIH PEMULA
Oleh: Drs. Ahmad Burhan Wijaya, M.Si., Psikolog
Indonesia sudah memasuki tahun politik dan tidak lama lagi akan menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) dengan terselenggaranya Pemilihan Presiden, Wakil Presiden, DPR, DPRD Provinsi, Kota dan Kabupaten serta DPD yang akan dilakukan pada waktu yang bersamaan. Tahun 2024 sebagai tahun penentu masa depan apakah hanya retorika omong kosong belaka? Bukankah pemuda adalah penentu pembangunan? Bukankah Generasi Zilenial (Gen Z) berhak menentukan pilihan!
Pada awal 1960-an berkembang teori political behaviour, menggantikan structural fungsional. Pendekatan teori ini melihat politik dari perilaku para aktornya, latar belakang aktor tersebut serta lingkungannya, tidak semata hanya mengamati institusi, lembaga atau konstitusinya. Sementara itu dalam ilmu politik dikenal azas universalitas, bahwa teori yang berlaku di satu negara, besar kemungkinan juga ditemukan di negara lainnya. Hal tersebut disebabkan, objek penelitiannya adalah manusia, yang memiliki kecenderungan yang sama dalam perilaku.
Perkembangan populasi, kejadian-kejadian bersejarah, perubahan kebijakan publik, pergulatan ekonomi, disrupsi digital mempengaruhi karakter generasi dalam menyesuaikan zamannya masing-masing. Mungkin saja menjadi bias Barat dalam pembagian teori generasi dari para peneliti. Straus & Howe (1991) membagi fase generasi menjadi empat periode, yakni fase silent generation (1925-1943), boomer generation (1943-1960), 13th generation (1961-1980), dan millenial generation (1980-2000). Bencsik dan Machova menambahkan i-generation, atau Generasi Zilenial (Gen Z) sebagai generasi terbaru dalam teori generasi, James Oblinger menyebutnya post-milenial. Gen Z disebut sebagai fase generasi global pertama (Heller, 2015).
Gen Z lahir dan tumbuh pada fase dunia memasuki disrupsi informasi dan teknologi yang membuat perubahan sosial sedemikian cepat. Forbes menjuluki Gen Z sebagai generasi teknologi tinggi artinya generasi yang hidup dalam kompleksitas sosial, karena mereka bergaul secara global dengan jendela dunia bernama internet. Hal ini adalah awal adanya kecenderungan penguasaan mereka terhadap multi bahasa menjadi cukup baik.
Gen Z adalah generasi yang lahir pada tahun 1997 – 2012 (Codrington & Grant Marshal, 2024) Gen Z adalah individu yang lahir pada era internet, yaitu tahun 1997 – 2012, yang menarik Gen Z adalah generasi pertama di muka bumi ini yang hidupnya setiap hari dikelilingi oleh media sosial, informasi yang tidak terbatas dan berjalan secara konstan. Gen Z adalah mereka yang berusia 11 – 26 tahun yang saat ini merupakan mahasiswa baru. Gen Z sebelumnya diberikan stigma apolitis dan cenderung berjarak dengan politik praktis. Tetapi bila melihat pengaruh mereka di media sosial, Gen Z akan menjadi pemilih pemula yang harus diperhitungkan.
Perilaku politik pemilih muda pada 2024 nanti juga cukup menjanjikan. Dalam Kompas.com (2023), berdasar hasil survei Litbang terlihat bahwa Gen Z atau kelompok usia 17-26 tahun cenderung tidak ingin golput. Angka Zilenial yang secara sadar ingin Golput hanya 0,6%. Pemilih muda semakin banyak yang antusias terhadap pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan Presiden (pilpres) dalam dua pemilu terakhir. Pada Pemilu 2014, sebanyak 85,9% mengaku ikut mencoblos kertas suara di TPS, lalu pada 2019 angkanya naik menjadi 91,3% yang mengaku ikut pemilu. (Centre for Strategic and International Studies, 2022).
Peran penting pemilih Gen Z dalam menentukan hasil akhir Pemilu 2024 akan nampak pada potensi kekuatan suara anak muda yang mulai gencar dibahas dalam diskursus politik Indonesia. Perilaku dan persepsi politik mereka mulai banyak dibicarakan dalam forum-forum diskusi, seminar, maupun siaran web tanalir (Podcast) di platform media sosial. Jika sebelumnya suara anak muda dalam sejarah pergerakan nasional diperhitungkan bahkan ditakuti lantaran gagasan dan keberaniannya, maka saat ini kekuatan suara mereka diperhitungkan karena kuantitasnya. Preferensi mereka mempengaruhi konstelasi politik elektoral dalam pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan legislatif (pileg). Meski keikutsertaan dalam pemilu bukan satu-satunya bentuk partisipasi politik, namun dengan banyaknya Gen Z yang mencoblos, menunjukkan bahwa demokrasi memiliki harapan untuk semakin berkembang di masa depan.
Meraih hati Gen Z jelas menjadi tantangan semua kontestan pemilu dengan pernyataan dari pemilu demokratis bahwa “one man one vote”. Data Pemilih tetap (DPT) 2024 yang telah dilansir oleh KPU mencapai 204,8 juta pemilih. “kekuatan” pemilih muda secara rinci 66,8 juta pemilih (33,6%) di antaranya merupakan Gen Z sebanyak 46,8 juta (22,85%). Dengan potensi Gen Z sebesar itu, kini tidak ada partai politik yang berani meminggirkan mereka dalam menyusun strategi, bahkan para kandidat calon presiden berlomba-lomba dan berusaha keras untuk merebut suara para pemilih pemula ini.
Bagaimana bisa memenangkan suara Gen Z:
- Karakter individual Gen Z menjadi tantangan besar bagi upaya pemenangan suara pemilih pemula. Tantangan bagi partai politik untuk menampilkan ideologi dan garis perjuangan partai yang menjawab masa depan Gen Z dengan menjadi konten komunikasi interaktif ala anak muda, utamanya menciptakan lapangan kerja (mengurangi pengangguran), mengendalikan harga kebutuhan pokok dan pemberantasan korupsi.
Gen Z membuka jendela hidupnya dan mendapatkan asupan informasi dari internet. Virtualitas telah menjadi ruang hidup dengan masuk ke dunia mereka. Salah satunya yakni menggunakan bahasa yang singkat sederhana, mudah dicerna, tidak mendikte, tidak kaku, dan tentu saja dengan gaya bahasa dan tutur politik yang komunikatif. Jangan berjarak dengan mereka, karena pemilih Gen Z ini tidak suka dijadikan sebagai objek, tetapi harus dijadikan partner bahkan dijadikan subjek. Bergaul dengan mereka tidak bisa dengan indoktrinasi, mereka lebih suka bergaul secara egaliter, lebih ingin didengar ketimbang diceramahi, suka mendiskusikan perihal yang ringan seperti hobi, gaya hidup, dan narsis di platform media sosial.
- Partai Politik dengan Capres dan Cawapres juga harus mempertontonkan sikap politik yang ramah, humble, dan bersahabat yang pada akhirnya akan mudah memenangkan hati Gen Z. Capres juga harus membuat politik jadi bagian dari solusi permasalahan mereka. Siapa yang bisa menyentuh hati Gen Z, dia yang terpilih. Demikian pula harus diyakinkan begitu jadi Presiden persoalan Gen Z ini bisa diselesaikan dengan tuntas,
- Anak-anak muda yang dianggap apolitis ternyata memiliki kepedulian terhadap isu-isu publik terutama fenomena regional dan global. juga memberi pengaruh anak-anak muda dalam politik kekinian. Namun mereka juga perhatian terhadap hal-hal penting seperti kemerosotan ekologi, pelayanan publik, dan isu-isu sosial aktual. Mereka mengekspresikan dengan caranya, tidak lagi berdemonstrasi, melainkan memaksimalkan kekuatan media sosial untuk menyuarakan kegelisahannya.
- Memanfaatkan keunggulan Gen Z terhadap informasi membuat mereka berkarier lebih cepat. Penelitian Mckinsey (2023) terhadap 500 perusahaan besar di Amerika Serikat menunjukkan sepertiga CEO-nya berumur 50 tahun ke bawah. Bahkan beberapa di antaranya berumur kisaran 30 tahun. Meskipun dianggap kurang berpengalaman, terutama saat menghadapi siklus krisis, kepemimpinan Gen Z di korporasi dianggap berprospek baik lantaran terbiasa dengan ketidakpastian, serta daptif terhadap corak relasi sosial masa depan yang akan lebih egaliter, dan teamwork. Sangat berbeda dengan corak organisasi era lama yang hirarkis, patron-klien, dan rentang kendali yang bertele-tele.
Daftar Pustaka
Codrington, G. & Grant-Marshall, S. (2004). Mind the gap. Penguin books.
Mckinsey. (2023).Corporate leaders are addressing the risks while finding the opportunities in digital disruption, the economy, and geopolitical uncertainties. https://www.mckinsey.com/capabilities/strategy-and-corporate-finance/our-insights/actions-the-best-ceos-are-taking-in-2023