Bursa Karbon dan Masa Depan Perdagangan Efek

Oleh: Nikmah Mentari, S.H.,M.H, Dosen Fakultas Hukum UHT

Meningkatnya polusi udara pada awal musim kemarau di Indonesia, memang cukup menjadi pusat perhatian. Mengingat adanya efek global warming di berbagai belahan dunia, dan mencairnya lapisan es di di laut antartika,[1] sehingga meningkatkan ketinggian air laut. Fenomena alam yang sejatinya berjalan normal, mulai mengalami pergeseran akibat peran besar manusia yang terlalu banyak mengeksploitasi alam itu sendiri. Padahal, Ketika terjadi pandemi Covid-19, kualitas udara lebih baik akibat aturan work from home, social distancing, serta phisycal distancing.

Meski hingga pertengahan tahun 2023, Indonesia telah sukses menurnukan emisi karbon dan gas rumah kaca hingga 118 juta ton atau sekitar 32,9% dari target,[2] namun, kondisi cuaca ekstrem yang terjadi juga menunjukkan bahwa masih diperlukan upaya keras untuk menekan lebih banyak adanya emisi. Dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan yang baik, tentu dibutuhkan usaha perbaikan yang Kembali kepada alam. Karena sejatinya, manusia hidup berdampingan dengan lingkungan alam yang mana eksistensi alam, khususnya hutan, memberikan keseimbangan bagi kebutuhan manusia.

Namun, seringkali perbaikan alam, baik itu upaya recovery, restorasi, reklamasi, hingga rehabilitasi belum cukup untuk memenuhi penanganan perubahan iklim akibat pemanasan global. Terlebih lagi, kegiatan tersebut membutuhkan dana besar dan sumber daya yang mumpuni. Sementara, perusahan-perusahaan meski telah dituntut untuk melakukan program Corporate Social Resposibility yang berkaitan dengan lingkungan belumlah optimal. Karena kegiatan tersebut bukan merupakan tujuan perusahaan yang mana pada umumnya mencari profit.

Melalui Paris Agreement pada 12 Desember 2015 yang disepakati oleh 195 negara berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dalam bentuk nationally determined contributions atau NDC.[3] Dalam menerapkan NDC tersebut, maka diperlukan strategi yang berkelanjutan terhadap negara-negara dengan potensi industri dan potensi hutan yang besar. Oleh karena itu, sejalan dengan green economy, maka terbentuklah suatu konsep perdagangan yakni bursa karbon/ carbon trading. Bursa karbon merupakan aktifitas jual-beli sertifikat suatu perusahaan atau entitas yang melakukan konservasi pada hutan dimana sertifikat tersebut dibeli oleh perusahaan yang memiliki banyak emisi karbon diatas ambang batas. Sehingga perusahaan yang membeli sertifikat tersebut dapat memiliki klaim bahwa telah melaksananakan prinsip keberlanjutan terhadap stake holder. Perusahaan atau entitas yang dibeli sertifikatnya dapat terus melestarikan alam serta mendapatkan profit dari perdagangan tersebut. Sedangkan, perusahaan pembeli dengan sendirinya akan memperbaiki kualitas operasional mereka untuk dapat menekan ambang batas emisi yang dikeluarkan termasuk sebagai langkah terhadap good corporate governance.

Menyusul beberapa negara yang lebih dulu menerapkan bursa karbon, seperti Uni Eropa, Swiss, New Zealand, Kazakhstan, Korea Selatan, Australia, Kanada dan Meksiko serta China, Indonesia[4] diawali pada Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Karbon. Pada tataran teknis diawali melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon. Pada tahun 2023 melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembagan dan Penguatan Sektor Keuangan (Omnibus Law Jasa Keuangan) memberikan kontribusi besar dibukanya perdagangan karbon. Berkenaan dengan perdagangan karbon, dalam hal ini OJK selaku institusi yang mengawasi sektor jasa keuangan, telah menerbitkan POJK Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon dan SEOJK 12/SEOJK.04/2023 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon. Hal ini memberikan peluang bahwa perdagngan karbon dapat dilakukan seperti halnya perdagangan saham atau surat berharga lainnya. Karena, terkait dengan perdagangan karbon, yang dijual memang sertifikat atau surat-surat berharga yang berkaitan dengan kepemilikan konservasi alam. Pada 24 Oktober 2023 kemarin, melalui media daring dan luring,[5] OJK telah mengadakan sosialisasi POJK 14/2023 dan SEOJK 12/2023 yang diikuti oleh berbagai elemen masyarakat. Termasuk elemen pelaku usaha perdagangan efek dan para calon investor.

Sejak peluncuran aturan terkait bursa karbon oleh OJK, Bursa Efek Indonesia telah ‘menawarkan’ diri untuk menjadi pihak penyelenggara dalam perdagangan karbon di Indonesia.[6] Hal ini mengingat bentuk dari perdagangan karbon merupakan salah satu dari Efek. Sesuai dengan POJK 14/2023 yang menjelaskan Efek merupakan surat berharga atau kontrak investasi baik dalam bentuk konvensional dan digital atau bentuk lain sesuai dengan perkembangan teknologi yang memberikan hak kepada pemiliknya untuk secara langsung maupun tidak langsung memperoleh manfaat ekonomis dari
penerbit atau dari pihak tertentu berdasarkan perjanjian dan setiap derivatif atas Efek, yang dapat dialihkan dan/atau diperdagangkan di pasar modal. Dalam hal ini, sertifikat Efek tersebut berupa Unit Karbon yaitu bukti kepemilikan karbon dalam bentuk sertifikat atau persetujuan teknis yang dinyatakan dalam 1 (satu) ton karbon dioksida yang tercatat dalam SRN PPI.

Menanggapi regulasi tersebut, sejatinya, perkembangan pasar modal di Indonesia  tidak hanya memperdagangkan efek-efek (baik konvensional maupun syariah) yang pada umumnya sudah beredar dan diperdagangkan. Akan tetapi, di masa mendatang setiap bentuk aktivitas yang dapat memberikan kontribusi nyata bagi perbaikan lingkungan maka akan memberikan value added yang mana dapat diperdagangkan seperti bursa karbon. Terlebih lagi Indonesia memiliki sumber hutan hujan tropis seluas 125,8 hektare, 3,31 juta hectare hutan mangrove dan 7,5 hutan gambut,[7] yang menunjukkan potensi besar terhadap kontribusi perbaikan lingkungan global. Sehingga, sangat menarik untuk terus dilakukan kajian dari aspek ekonomi dan sustainability-nya.

Perdangagan Unit karbon ke depan mungkin tidak hanya berhenti dalam rangka penanganan masalah pemanasan global. Hal tersebut mungkin dapat berkembang menjadi Unit Karbon berbasis syariah atau pada jenis zat yang menimbulkan polusi secara massif dan massal lainnya. Selain itu, bisa jadi melalui bursa karbon akan menginisiasi isu-isu lain yang dalam rangka keberlanjutan tidak hanya lingkungan, namun seperti isu perdamaian atau sejenisnya. Dimana, isu tersebut dapat dijadikan objek yang tidak hanya memberikan nilai ekonomi bagi semua pihak, namun dalam rangka perbaikan kualitas hidup yang lebih baik. @Kominfouht2023

[1] https://www.bbc.com/indonesia/majalah-64671805 diakses pada 18 September 2023.

[2] https://katadata.co.id/happyfajrian/ekonomi-hijau/64d9f16177f9a/indonesia-sukses-turunkan-emisi-karbon-118-juta-ton-hingga-juli- diakses pada 18 September 2023. 2023#:~:text=Kementerian%20ESDM%20melaporkan%20bahwa%20sepanjang,ini%20sebesar%20358%20juta%20ton diakses pada 18 September 2023.

[3] https://climatepromise.undp.org/news-and-stories/NDCs-nationally-determined-contributions-climate-change-what-you-need-to-know#:~:text=Nationally%20Determined%20Contributions%2C%20or%20NDCs,finance%20to%20support%20these%20efforts diakses pada 18 September 2023.

[4] https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/481986/bursa-karbon-akan-dimulai-ini-pengertian-dampak-dan-negara-yang-sudah-terapkan-perdagangannya diakses pada 18 September 2023.

[5] https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/siaran-pers/Pages/Penguatan-Pengawasan-dan-Kompetensi-Pelaku-Pasar-Modal-OJK-Gelar-Sosialisasi-Ketentuan-Pasar-Modal-Di-Yogyakarta.aspx diakses pada 25 Oktober 2023.

[6] https://www.cnbcindonesia.com/market/20230911120823-17-471324/deadline-bursa-karbon-makin-dekat-bei-siap-siap diakses pada 18 September 2023.

[7] https://ekonomi.republika.co.id/berita/ruhxtr463/ekonomi-karbon-indonesia-berpotensi-meraih-rp-8000-triliun diakses pada 19 September 2023.