
Indonesia perlu UU Keadilan Iklim
Oleh: Ilham Dwi Rafiqi, Nip. 01838, Dosen Pengajar Hukum Lingkungan | Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya
Bumi yang tak lagi hijau
Peringatan world environment day pada 5 Juni kemarin rupanya lebih banyak diwarnai dengan banyaknya pemberitaan mengenai kondisi Bumi saat ini. Berita Kompas misalnya, mengangkat satu highline menarik tentang kondisi “Bumi Semakin Panas, Ruang Hidup Menyempit”. Diskursus dan penelitian terhadap kondisi Bumi pada dasarnya bukan sesuatu hal yang baru, para akademisi sejak tahun 1960-an mulai menyoroti isu krisis ekologi dengan munculnya beberapa karya populer seperti karya Rahel Carson yang berjudul the silent spring pada tahun 1962, Lynn White dengan judul the historical roots of our ecological crisis pada majalah science, Maret 1967, dan tragedy of commons oleh Garett Hardins tahun 1968.
Saat ini perbincangan krisis ekologi tidak lagi banyak berfokus pada sebab terjadinya kerusakan, karena pada dasarnya kita semua tahu (commons sense) di era saat ini bahwa sedikit atau banyak krisis ekologi itu disebabkan oleh ulah manusia. Laporan terbaru dari World Meteorological Organization (WMO) memberikan sinyal bahwa perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia (antropogenik) sekarang sama kuatnya dengan kekuatan alam. Suhu rata-rata global di dekat permukaan antara tahun 2023 dan 2027 diperkirakan akan bertambah 1,5 derajat celsius di atas tingkat praindustri (1850-1900) selama setidaknya satu tahun. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2001 dalam membandingkan pengaruh faktor alam dan manusia telah menyimpulkan bahwa “there is new and stronger evidence that most pf the warming observed over the last 50 years is attributable to human activites”. Akhirnya, karena kondisi bumi yang semakin memburuk pada tahun 2021 bahkan memberikan peringatan merah untuk ancaman kepunahan manusia (code red for humanity).
Apa yang saat ini terjadi di Indonesia seperti–kenaikan suhu, banjir, kerusakan ekosistem pesisir dan laut, penurunan popuasi satwa, penurunan produksi komoditas petani, dan masih banyak lainnya seharusnya menjadi peringatan kita semua bahwa perubahan iklim itu terjadi dan ancaman kepunahan itu nyata. Indonesia memiliki ekosistem mangrove terbesar di dunia seluas 3,4 juta atau 23% dari ekosistem mangrove dunia. Selain itu, Indonesia mempunyai hutan tropis terluas ketiga di dunia serta memiliki lahan gambut terbesar kedua di dunia. Dengan kekayaan alam yang demikian itu, Indonesia pada dasarnya memiliki peran besar dalam perubahan iklim, peran itu bisa dalam bentuk kontribusi positif melalui penanganan perubahan iklim atau justru kontribusi negatif sehingga mempercepat laju perubahan iklim.
Eco not Ego
Tarik menarik antara kepentingan bisnis dan kepentingan ekologi selalu menjadi warna dalam legislasi ekologi dan iklim. Kompromi antara keduanya seringkali ditengahi oleh prinsip kita sebut “Pembangunan Berkelanjutan/(Sustainable Development)”. Prinsip itu saat ini cenderung menjadi praktik business-as-usual yang oleh L.J Kortze dalam bukunya yang berjudul “Rethinikng Global Environmental Law” menyebutkan bahwa Pembangunan Berkelanjutan justru dapat bekerja sebagai ideologi yang digunakan untuk pembenaran atas diteruskannya penjarahan atas planet.
Legislasi ekologi di Indonesia rupanya memiliki tantangan yang besar karena pada faktanya para penguasa atau elit politik di negeri ini mayoritas merupakan pembisnis, sehingga besar kemungkinan kepentingan oligarki itu mengganggu jalannya legislasi ekologi. Legislasi ekologi memang berpotensi besar menciptakan patronase dan persekongkolan kepentingan para oligarki. Praktik itu dapat dilihat pada gambaran dinamika UU Cipta Kerja dan UU Minerba.
Ini merupakan sebuah tantangan, yang menurut Burnell dalam tulisannya yang berjudul “Democracy, Democratization and Climate Change: Complex Relationships” setiap upaya pelembagaan aturan hukum dan menjaga kebijakan publik selalu akan bersinggungan dengan pengaruh klientelisme dan korupsi. Egosentrisme tidak layak untuk dihadirkan pada legislasi atau praktik ekologi. Ekologi bukan untuk kepentingan individua tau golongan, akan tetapi untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan, singkatnya perlu kita suarakan Eco not Ego!
UU Keadilan Iklim dan Masa Depan Bumi
Komitmen Indonesia untuk turut serta mengatasi krisis iklim global telah dilakukan sejak lebih dari 20 tahun yang lalu, hal ini terlihat pada kebijakan pemerintah untuk ratifikasi terhadap Protokol Kyoto pada 1997 hingga meratifikasi Paris Agreement dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change. Dalam konteks nasional, Pemerintah juga menetapkan dokumen- dokumen terkait dengan perubahan iklim, antara lain Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi GRK (RAN-GRK) dan Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR).
Meskipun sudah melakukan banyak hal, aturan di Indonesia yang ada saat ini masih cenderung sporadis dan tersebar di berbagai aturan sehingga penanggulangan perubahan iklim belum begitu efektif dilakukan. Di samping itu, aturan kebijakan perubahan iklim cenderung lebih banyak dibuat pada level peraturan presiden, seperti pengesahan Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca yang kemudian dicabut dan digantikan oleh Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 sebagai dasar hukum pelaksanaan pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC). Akibatnya, upaya pecegahan dan penanggulangan perubahan iklim seringkali kalah apabila dibenturkan dengan kebijakan sektoral lainnya yang berlevel undang-undang, seperti energi, pertambangan, dan kehutanan.
Faktanya, dalam 10 tahun terakhir (2013-2022), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merekam terjadinya peningkatan bencana terkait cuaca dan iklim sebanyak 28.471 kejadian. Apabila konsentrasi CO2 terus meningkat di Indonesia, dikhawatirkan pada pada akhir abad 21 kenaikan subu akan mencapai 3-4 – 4 oC. Berdasarkan data BMKG, Indonesia mengalami peningkatan konsentrasi CO2 dari 372ppm menjadi 41ppm. Dampak nyata kenaikan suhu di Indonesia antara lain seperti mencairnya es di puncak Jaya Wijaya, pulau-pulau kecil yang mulai banyak tenggelam akibat kenaikan permukaan air laut, hingga meningkatnya intensitas cuaca ekstrem. Atas dasar itulah sudah saatnya Pemerintah Indonesia mengambil langkah serius Salalah satunya dengan pembentukan UU Keadilan Iklim.
Posisi strategis geopolitik Indonesia sebagai negara yang memiliki kawasan hutan terbesar dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa seharusnya membuat Indonesia mampu memainkan peran untuk memimpin negosiasi iklim di tingkat global. UU Keadilan Iklim menjadi instrument penting agar Indonesia benar-benar berhasil memenuhi target ambisius, yakni penurunan emisi GRK sebesar 29% pada 2030 dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional. Jika diperhitungkan, maka penurunan emisi Indonesia pada 2030 harus mencapai 42% dari emisi BAU (2,881 GtCO2eq) untuk mendukung target kenaikan temperatur dibawah 2°C dan 52% dari emisi BAU untuk mendukung target kenaikan temperatur 1,5°C.
UU Keadilan Iklim menjadi instrument hukum tertinggi (freamwork law) untuk mendorong harmonisasi kebijakan dan menciptakan aksi pencegahan dan pengendalian perubahan iklim secara terpadu dan komprehensif. UU Keadilan Iklim bersifat lintas/multi sektoral karena akan menjadi acuan sekaligus filter untuk setiap kebijakan dan produk yang memberikan dampak bagi lingkungan dan iklim.
UU Keadilan Iklim mendorong distribusi keadilan kepada kelompok-kelompok yang selama ini dimarjinalkan atau dalam kondisi tidak beruntung, paling terdampak, dan mengalami kerugian dari situasi perubahan iklim. Apa yang telah dijamin dalam Konstitusi (Pasal 28H ayat 1 UUD NRI 1945) bahwa “setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat” agaknya perlahan dapat terwujud nyata melalui UU ini. Tidak hanya fokus menyelesaikan masalah saat ini, esensi kehadiran UU Keadilan Iklim juga akan mengakomodir jaminan keadilan antar generasi karena berusaha menyediakan lingkungan hidup yang layak untuk generasi masa depan.
Besar kecil usaha yang menyangkut penyelamatan alam merupakan ikhtiar mulia. Pertolongan Allah kepada suatu negara tergantung pada pertolongan yang dilakukannya antar manusia. “Sesungguhnya Allah akan menolong seorang hamba-Nya selama hamba itu menolong orang lain.” (Hadits Muslim, Abu Daud Dan Tirmidzi). Wacana UU Keadilan Iklim bukan berbicaraan tentang ego tapi eco, untuk itu marilah kita dukung bersama!